Selamat Datang di Blog kami, Anda akan mendapatkan informasi tentang Wisata Alam, Sosial, Seni dan Budaya di Malang - Indonesia, khususnya Wisata Alam, Seni dan Budaya sekitar Tumpang Raya.

Jaran Kepang Dor


Banyak cara manusia untuk mengekspresikan perasaan dan keyakinannya kepada Yang Maha Kuasa. Salah satunya apa yang dipraktikkan oleh sebagian warga Dusun Kemulan, Tumpang, Kabupaten Malang ini. Mereka mengekspresikan keyakinan mereka kepada Tuhan dengan menggelar jaranan, terutama pada setiap malam Jumat Legi. Malam Jumat Legi adalah malam yang keramat bagi sebagian besar warga Desa Kemulan. Ketika bermain jaranan pada malam itu, mereka seolah menjumpai malam yang penuh nuansa spiritualitas untuk kian mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Berbagai macam sesaji sejak sore sudah disiapkan untuk memasuki proses nyetreke. Sesaji yang diberikan itu adalah cok bakal, yang menandai sebagai ingatan yang terus menerus atas para leluhur, utamanya yang telah meninggal dunia. Setelah nyetreke di pagi hari, pada malam harinya digelar pertunjukan. Tahap pertama dalam pertunjukkan jaranan adalah mengalunkan gending gending pembuka.
Peralatan musik yang dipergunakan dalam jaranan kepang dor memang berbeda dengan jenis jaranan kepang lainnya. Jaranan kepang dor tidak menggunakan peralatan musik yang terbuat dari logam, seperti besi atau tembaga, melainkan dari kulit dan kayu, seperti Jedor, kendang, angklung, dan kentongan. Alunan gendhing di awal pertunjukan ini dimaksudkan untuk memuji Yang Maha Kuasa. Sementara itu, di balik panggung, sang pawang terus komat kamit mengucapkan berbagai mantera yang juga merupakan puji pujian kepada Yang Maha Kuasa. Jadi antara alunan musik dan mantera menyatu membentuk suasana magis dan khusu’.

Setelah alunan musik pertama usai, para penari memasuki arena pertunjukan dengan dipandu irama kendang. Ritme pertunjukan pun secara keseluruhan dipandu secara rancak oleh pengendang. Suara kendang yang membahana, Deng dong dong dong dong deng tak adalah tanda bagi penari jaranan kepang dor untuk merubah bentuk gerak kaki. Musik terus bergulir dengan nada datar tung tak tung dor tung ken tung tak tung ken tung dor tang tang tang dor dang tak dang dor. Sementara itu suara angklung mangalun mengiringi irama kendang.

Para penari yang berjumlah enam orang, dengan kompak mengikuti alunan musik selamat datang. Mereka mengenakan atribut khas jaranan kepang dor, yang berupa udeng yang diikatkan di kepala, sapu tangan merah terkalungkan di leher, baju yang didominasi warna hitam dan merah. Mereka juga mengenakan stagen warna hitam, lantas dibalut dengan ikat pinggang berkomposisi tiga warna; putih, merah, dan hitam. Di bagian bawah, penari mengenakan celana panjang sebawah lutut, lalu dibalut sarung plekat. Di pergelangan kaki kanan, penari mengenakan gonseng atau krimpying seperti yang biasa dikenakan penari remong pada ludruk.
Setelah tarian pembuka usai, pawang memasuki arena pertunjukan dengan membawa perapian yang berisi arang yang ditaburi kemenyan. Perapian ini ingin menggambarkan anasir warna putih, merah, dan hitam sebagaimana yang tertuang dalam warna jaranan kepang dor. Warna tersebut memiliki arti tersendiri. warna putih (seto) menggambarkan manusia lahir itu suci, tidak memiliki dosa apapun. Warna merah (wreto) menggambarkan bahwa bayi yang akan menjalani kehidupan di dunia itu akan mengalami banyak permasalahan dan tantangan.

Jadi sudah menjadi kepastian dari Yang Maha Kuasa bahwa orang hidup itu merupakan gudangnya cobaan. Maka manusia itu harus bisa kreatif untuk dapat keluar dari cobaan hidup itu. “Dahulu, para pembuat jaran kepang kalau mewarnai warna merah ini tidak menggunakan cat, tetapi dengan warna darahnya. Jadi hidup itu kalau mau melewati percobaan harus ada pengorbanan”, demikian ungkap Soleh Adi Pramono, pemimpin Padepokan Seni Mangun Dharmo, Tumpang.
Sementara itu warna hitam (cemani) pada jaran, menandakan bahwa kehidupan di dunia ini pasti ada akhirnya. Manusia akan menjalani kematian, dan sebelum mati manusia harus berusaha mencapai kesempurnaan hidup. Manusia mencapai kesempurnaan hidup jika ia telah mencapai fase manunggaling kawulo Gusti. Dan prosesi menyebar kemenyan oleh pawang ke seluruh pelosok tempat di tengah pertunjukan diharapkan membawa suasana pantengeng pamujo kepada Yang Maha Esa. Dan memang setelah prosesi ini selesai, biasanya penari jaranan menyiapkan diri untuk kalab, dan pada saat yang sama para penonton secara emosional terlibat dalam jaranan. Antara penari dan penonton bisa saling oya’ (memberikan respon yang atraktif).
Momen yang lebih magis adalah saat para penari jaranan bergerak melingkar yang dikenal dengan adu endas (adu kepala) sebagai pertanda dibukanya jaga alit (jiwa manusia) untuk bertemu dengan jagad gede (kekuatan makro kosmos) sehingga menyatulah keduanya. Inilah yang disebut dengan kondisi kalap. Pada saat kalap, pawang semakin gencar membaca mantera sambil menaburkan beras berwarna kuning, adapula yang pakai kemenyan atau bunga kenanga yang dibarengi dengan melucutkan cambuk yang telah dimanterai pula. “Niat ingsun nandur wringin truno sak jerone segoro woh lintang,” demikian ucap pawang, yang isinya meminta para arwah untuk datang tapi tak boleh membawa lara.


Pada saat pawang melecutkan cambuknya, membelah udara, secara magis dan spiritual disini ada pengertian terbukanya warono, manjinge sukmo, menyatunya kawulo dan Gusti. Dalam posisi kalab itu penari jaranan kepang dor akan waskito, sehingga ia dapat mengobati berbagai macam penyakit, dapat menolak segala macam kekuatan jahat yang hendak merusak. Meski demikian tak semua penari bisa kalab. Hal itu tergantung pada jiwa dan spiritualitas penari yang bersangkutan. Jiwa yang penuh dengan kekotoran dan nafsu angkoro murko atau dipenuhi hasrat keduniawian, tidak akan bisa mencapai tahap kalap. “Inilah menurut saya, puncak dari rasa eksotiknya kesenian jaranan yang tidak dimiliki oleh kesenian lainnya”, imbuh Sholeh.
Komunikasi emosional antara penari dengan penonton tetap terjadi tatakala kalap. Ekpresi simbolik penonton kerapkali ditunjukkan dengan berbagai atraksi seperti mengoyak, bersiul, dan kejar-mengejar. Ekpresi komunikasi melalui gerak tubuh antara penonton dan penari jaranan kepang mampu menjelmakan pertunjukkan jaranan kepang dor sebagai media tolong menolong, wayuh roso, dan manifestasi keguyupan masyarakat pedesaan.
Ketika masa kalab usai, para penari jaranan pun memperoleh kembali masa kesadarannya. Lantas pawang dibantu oleh beberapa nayogo jaranan kepang mengumpulkan jaran kepang yang telah dipakai atraksi ditengah arena permainan. Dengan komat kamit, pawang membaca mantera kembali, mengucapkan terima kasih kepada Sang Hyang atas berbagai pertolongannya kepada umat manusia melalui tenaga magis yang tersalur pada tubuh penari, sambil sesekali nayogo lainnya melecutkan cambuk sebagai tanda berakhirnya manjinge kekuatan gaib tersebut.
Tak lupa pawang mengucapkan salam perpisahan sabagai tanda berakhirnya atraksi jaranan kepang dor kepada seluruh pengunjung. Kini kendali dan kuasa berganti dari tangan pawang ke si pengendang. Pengendang dengan sigap mengalunkan dan mengatur irama musik perpisahan pula.
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Newsletter Ngaji Budaya PUSPeK Averroes, 2003, Jelajah Budaya. 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar